Monday, February 6, 2017

CARA ALLAH MENGASIHI KITA



Bagaimana Anda Percayai Tentang Kasih Allah

Kata-kata ini berasal dari seorang Nabi dalam kitab Perjanjian Lama bernama Maleakhi. Bagaimana kita merasa nyaman dalam kasih Allah, jika kita merasa tidak dikasihi? bagaimana seolah-olah Allah telah mengabaikan kita dan membiarkan kita mengalami penderitaan
dan bahwa Dia dengan sengaja menahan  yang sebenarnya sangat mudah  diberikan-Nya kepada kita?
Maleakhi, seorang nabi bagi “umat pilihan” Allah, meyakinkan kita bahwa kita bukanlah orang pertama yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan itu. Ia memberikan kesempatan kepada kita untuk melihat mengapa kasih Allah adalah salah satu dari kebenaran-kebenaran yang paling disalahpahami di dalam Alkitab.

  “Saya rasa Allah mengasihi kita tanpa syarat, tidak peduli kita mengasihi-Nya ataupun tidak.”
  “Saya yakin Allah mengasihi kita. Namun, itu tidak
berarti saya orang yang rohani. Menurut saya, jika Allah mengasihi kita, tidak ada yang perlu kita khawatirkan.”
“Saya ingin percaya bahwa Allah mengasihi kita. Namun, itu mungkin berarti bahwa kita terlalu menggunakan perasaan manusiawi kita tentang-Nya.”
  “Dulu saya pernah mempercayai
Allah yang penuh kasih. Namun, sejumlah peristiwa yang saya alami membuat saya benar-benar tidak ingin membicarakan kasih-Nya itu.”
  “Saya rasa Allah mengasihi kita, tetapi mungkin bentuk kasih-Nya berbeda dari kasih
kita kepada sesama. Saya rasa Dia mengasihi kita dengan cara-cara yang mungkin tidak kita anggap sebagai kasih.”
  “Saya yakin Allah mengasihi saya. Namun, sering saya merasa sulit untuk mengaitkankeyakinan itu dengan apa yang saya rasakan tentang diri saya sendiri.”

Sejarah Sebuah Pertanyaan
Berbagai pendapat yang saling bertentangan tentang kasih Allah bukan hanya gejala dari zaman kita. Kebingungan apakah Allah mempedulikan kita bisa ditelusuri balik sejak dari zaman akhir Perjanjian Lama. Bahkan di masa itu, sejumlah orang yang termasuk paling rohani di dunia bertanya-tanya, bagaimana mungkin mereka bisa percaya pada Allah yang berkata bahwa Dia mengasihi mereka, tetapi tindakan-Nya seolah-olah menyatakan bahwa Dia tidak mengasihi mereka. Sekitar tahun 450 SM, Maleakhi, nabi terakhir Perjanjian Lama, berkata pada penduduk Yerusalem, “‘Aku mengasihi kamu,’ firman Tuhan. Tetapi kamu berkata: ‘Dengan cara bagaimanakah Engkau mengasihi kami?’” (Mal. 1:2).

Pertanyaan-Pertanyaan yang Lain
Maleakhi datang sebagai juru bicara dua arah antara Allah dengan “bangsa pilihan-Nya”. Ia mengajukan delapan belas kali pertanyaan atas nama Allah dan sepuluh kali pertanyaan atas nama orang-orang Yahudi sebangsanya. Melalui pena Maleakhi, Israel menjawab pertanyaan Allah dengan pertanyaan mereka sendiri:
Dengan cara bagaimanakah
Engkau mengasihi kami? (1:2).
Dengan cara bagaimanakah kami menghina nama-Mu? (1:6).
Dengan cara bagaimanakah kami mencemarkan mezbah-Mu? (1:7).
Mengapa Engkau tidak menjawab doa kami? (2:13-14).
Dengan cara bagaimanakah kami menyusahi Dia? (2:17).
Di mana Allah yang dianggap adil itu? (2:17 BIS).
Dengan cara bagaimanakah kami harus kembali kepada-Mu? (3:7).
Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau? (3:8).
Apakah yang kami bicarakan di antara kami tentang Engkau? (3:13).
Apakah untungnya beribadah kepada Engkau? (3:14).
  
Ajukan Pertanyaan-Pertanyaan Ini Dalam Konteks yang Berbeda
Untuk melihat betapa menakjubkannya pertanyaan-pertanyaan ini, bayangkan pertanyaan-pertanyaan ini diajukan oleh seorang istri yang masih belum yakin bahwa suaminya mengasihinya, setelah 50 tahun mereka menikah. Bayangkan Anda mendengarkan pembicaraan telepon hanya dari satu sisi, ketika seorang wanita berusia 75 tahun berkata pada suaminya, “Bagaimana mungkin kau berkata bahwa engkau mengasihiku? Inikah cara seorang pria mengasihi istrinya, dengan mengatakan bahwa istrinya telah menghinanya? Dengan cara bagaimana aku melukaimu? Kau bahkan sudah tidak memperhatikanku lagi. Aku bicara, tetapi kau tidak mendengarkan. Lalu kau berkata, akulah yang menyusahkanmu. Di manakah rasa keadilanmu? Bagaimana mungkin, setelah semua yang kita lewati bersama, kau masih berharap aku masih mengasihimu seperti dulu?

Kau berkata bahwa engkau mengasihiku, tetapi dalam helaan napas yang sama kau menuduhku telah menghancurkan nama dan reputasimu. Kau bilang ini kasih? Menurutku tidak begitu. Aku tidak tahu apa yang kuperoleh setelah menjalani hidup selama 50 tahun di dalam kekangan tuntutanmu.”

Bahkan umat pilihan Allah pun tidak merasa dikasihi.

Israel di akhir sejarah Perjanjian Lama, mengucapkan perkataan seperti yang dikatakan wanita ini. Israel telah menjadi mempelai wanita Yahweh selama 1000 tahun. Namun, saat berbicara tentang kasih Allah, Israel bersikap seolah-olah ia tidak pernah mengalami kasih itu.
Humor modern Yahudi mencerminkan ironi suatu umat pilihan yang sering merasa tidak dikasihi oleh Allah: “Seorang Yahudi tua berdoa dengan sungguh-sungguh di dalam sinagoge, ‘Tuhan, 4.000 tahun yang lalu, di lereng gunung Sinai, Engkau memilih bangsa Yahudi sebagai umat pilihan-Mu, bangsa yang kudus, bangsa para imam, bangsa yang menjalankan hukum- hukum-Mu yang kudus dan menjadi saksi bagi dunia. Tuhan, saya merasa sangat tersanjung, tetapi Tuhan, cukup sampai di sini saja. Sudah waktunya Engkau memilih bangsa lain"
Bangsa-bangsa non-Yahudi pun memiliki doa yang serupa: “Tuhan, jika seperti ini rasanya dikasihi oleh Engkau, tolong kasihilah bangsa lain saja untuk sementara waktu.” Doa-doa semacam ini mencerminkan kebutuhan kita untuk merasakan dengan lebih jelas, apakah artinya dikasihi oleh Allah. 

Allah Telah Mengasihi Kita Dengan cara Yang Nyata

"Aku mengasihi  kamu ," firman TUHAN. Tetapi kamu berkata: "Dengan cara bagaimanakah Engkau mengasihi kami?" "Bukankah Esau itu kakak Yakub?" demikianlah firman TUHAN. "Namun Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci  Esau  . Sebab itu Aku membuat pegunungannya menjadi sunyi sepi dan tanah pusakanya Kujadikan padang gurun.  " Apabila Edom berkata: "Kami telah hancur, tetapi kami akan membangun kembali reruntuhan itu," maka beginilah firman TUHAN semesta alam: "Mereka boleh membangun, tetapi Aku akan merobohkannya; dan orang akan menyebutkannya daerah kefasikan dan bangsa yang kepadanya TUHAN murka sampai selama-lamanya."  (Mal 1:2-4)

Allah mengingatkan orang-orang Yerusalem akan sesuatu yang sama jelasnya dengan keberadaan bangsa mereka setelah 70 tahu masa pembuangan di Babilonia, mereka dipulangkan kekota asal mereka meskipun mereka merasa tidak puas dengan kondisi
kehidupan mereka, Allah tidak pernah melupakan mereka. Allah telah menolong mereka dengan menyerahkan Babilonia kepada Persia. Allah telah membawa mereka kembali ke tanah air yang mereka cintai.
Hal yang sama tidak berlaku bagi saudara sepupu mereka, bangsa Edom. Saat keturunan Yakub diberi tanah dengan kota-kota yang tidak mereka bangun, rumah-rumah yang tidak mereka lengkapi, sumur-sumur yang tidak mereka gali, kebun anggur dan zaitun yang tidak mereka

tanami (Ul. 6:10-12), keturunan Esau, saudara kembar Yakub, mengalami hal yang berbeda. Allah memberikan kutukan nasional bagi bangsa Edom. Dia memperhatikan kesombongan mereka dan berkata bahwa meskipun mereka membangun rumah-rumah mereka di benteng-benteng gunung, Allah akan menjadikan rumah mereka sebagai tanah pembuangan (Mal. 1:4). Keturunan Esau akan mencoba bangkit, tetapi Allah akan menjatuhkan mereka. Sampai hari ini, begitu jelas terlihat perbedaan antara “gunung Yakub” dan “gunung Esau”. Meskipun keturunan Esau membangun benteng-benteng yang kuat di tebing-tebing terjal Sela (di Petra, 80 km di selatan Laut Mati), Allah membuat tebing-tebing mereka menjadi tandus—suatu bukti yang jelas akan penghakiman-Nya (lihat Ob. 1:8-18). Allah memilih Yakub dan bukan saudara kembarnya Esau, bukan sebagai bentuk pilih kasih. Allah tidak memperlakukan Israel seperti anak manja atau memberikan umat-Nya kekebalan atas konsekuensi dosa-dosa mereka. Dengan bertambahnya hak istimewa Israel, mereka juga memiliki tanggung jawab yang besar . Tidak ada bangsa lain yang dikenal sebagai “bangsa Holocaust” (pemusnahan bangsa Yahudi secara besar-besaran oleh Nazi Jerman pada masa 1930-1940an).

'Israel dipilih bukan hanya sebagai penerima kasih yang nyata, tetapi mereka juga mengalami penderitaan setimpal saat menolak kasih tersebut.''

Dari hal diatas kita dapat simpulkan bahwa Allah telah mengasihi kita sejak dari dulu sampai sekarang, Dia mau hidup kita diproses oleh Iman yang dewasa Rohani sehingga kita kuat menghadapi segala keadaan. Tetaplah bersyukur meskipun keadaan sulit menimpa kita, namun tetap percaya dengan iman Tuhan menyertai kita disepanjang Zaman ini.

No comments:

Post a Comment