Sebagian orang jarang
tersenyum karena hidup di kota besar bukan perlu senyum, tapi punya banyak uang
baru bisa tersenyum. Walau uang bisa tersenyum pada orang, senyum perlu uang
agar orang tetap bisa tersenyum pada kemiskinan. Maka di kota, orang tersenyum
untuk dapat uang agar orang bisa punya uang dan kemiskinan tak lagi tersenyum
padanya.

"Tersenyumlah, Bu," kata
ibu setengah baya itu lagi. Ibu yang disapa belum juga tersenyum. Bau tak sedap
bercampur pada lusuh wajah selusuh basah bajunya. Ibu muda itu, seperti orang
lain di tempat itu adalah para pemulung. Kebaktian belum dimulai, namun
sebagian dari mereka bukan datang untuk kebaktian, tapi untuk makan; kadang
untuk uang walau sering tak ada makan dan tak ada uang di tempat sempit dan
pengap itu. "Saya sudah sering senyum, pada pagi, pada kehidupan, pada
kemiskinan, juga pada malam hujan seperti ini," katanya. Hujan memang
selalu membuat, bukan saja diri dan bajunya menjadi basah selusuh-lusuhnya,
tetapi juga rumah kardusnya di pinggir rel kereta di seberang sana itu,
pastilah sudah menjadi rusak sebasah-basahnya; dan pastilah juga ia harus
menatap langit tanpa bulan di atas sana pada tidur malamnya sehabis hujan malam
itu.
Dan siapakah yang berani berkata
padanya, "Sudah, hujan sudah kehabisan airnya, jadi tidurlah saja dengan
tenang di pinggir jalan sambil berharap-harap pada hujan, agar hujan tak lagi
mendatangkan basah air hujannya." Biasanya hujan memang datang lagi tengah
malamnya atau pagi-paginya. Sebelumnya atau sesudahnya, sama saja, basahlah
pasti tidurnya.
"Oh, kapan aku bisa berlindung
dari basahnya hujan, atau berharap pada hujan agar tak hujan?" lanjutnya.
"Tenang, Bu. Tuhan pasti mendengar kesusahan ibu karena Tuhan itu
baik," kata ibu setengah baya yang penuh senyum tadi dengan sabar.
"Yesus telah memberikan keselamatan kekal itu pada kita dengan rela mati
di atas kayu salib. Pastilah Ia sangat mengasihi kita semua. Maka, tersenyumlah
pada Tuhan," lanjutnya. "Bagaimana bisa? Aku hidup dalam lusuh basah
bajuku, sementara banyak orang hanya senyum untuk uang. Dan sementara aku
senyum untuk baju basah lusuhku, aku juga harus senyum bukan untuk uang tapi
untuk Tuhan?" sergah ibu muda itu.
Kebaktian hampir dimulai, percakapan
masih jauh dari sepakat. Ibu muda itu semakin membatu sementara ibu setengah
baya itu dengan sabar menjatuhkan setetes demi setetes air kerinduan akan Tuhan
dalam bait-bait senyumnya. Ada kesedihan dalam getir gentar jiwanya melihat
keras membatu hati di hadapan matanya, tetapi senyum itu tetap di jiwanya,
mengalir dan mengalir tak habis-habis seolah-olah di sanalah tempatnya Sumber
Kehidupan.
Malam makin jauh malamnya. Gerimis
belum berhenti gerimisnya. Masih basah baju mereka, hujan kecil-kecil
menyanyikan pujian bagi Tuhan dalam rintik-rintiknya. Tuhan para pemulung di
ruang sempit dan pengap. Tuhan atas ´senyum yang belum juga datang´.
Kebaktian selesai. Percakapan
dimulai lagi. Percakapan semakin jauh dari sepakat. Ibu muda itu kini
benar-benar sudah membatu, meski baru saja ia menyanyi Haleluya. Ibu setengah
baya itu akhirnya menghentikan kata-katanya demi kesabarannya dalam tetap
senyumnya, "Andai suatu saat nanti ibu muda ini mau tersenyum untuk Tuhan
dan bukan untuk malam, untuk hujan dan untuk uang...," pikirnya. Tetapi
ibu muda itu tetap menggerutu pada basah lusuh bajunya, pada malam hujan basah
rumah kardusnya, pada Tuhan atas hujan malam itu.
Ibu setengah baya itu diam seperti
malam, namun senyum masih ada di jiwanya dan mengalir di hatinya, terlihat di
bibirnya dan terpancar di matanya. Namun angin malam itu telah membawa
senyumnya pergi menjauh dari seorang ibu muda
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.
Sebelum ia tahu bahwa kanker tengah
merongrong kesehatannya, sebelum semua tahu bahwa kanker itu bertahun-tahun
telah ia bawa pergi sampai ke tempat sempit dan pengap, ibu setengah baya itu
dulu pernah bilang, "Bukan aku yang tersenyum padamu, tapi Tuhan memang
tersenyum padaku, padamu; maka tersenyumlah juga pada Tuhan."
Dan ketika tahu bahwa kehidupan tak
lagi berpihak padanya, ia tetap berkata, "Tersenyumlah selalu pada Tuhan,
maka engkau akan tersenyum pada kematian."
Ibu setengah baya itu, Ibu Mien,
kukenal memang dengan senyumnya. Senyum yang datang dari Sumber Kehidupan.
Senyum yang telah memberi terang pada malam. Ia baru saja pergi, meninggalkan
sedih yang dalam di hatiku dan basah
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.
"Karena Tuhan itu baik,"
katanya.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.