Friday, June 23, 2017

SENYUM JIWA UNTUK TUHAN



Sebagian  orang jarang tersenyum karena hidup di kota besar bukan perlu senyum, tapi punya banyak uang baru bisa tersenyum. Walau uang bisa tersenyum pada orang, senyum perlu uang agar orang tetap bisa tersenyum pada kemiskinan. Maka di kota, orang tersenyum untuk dapat uang agar orang bisa punya uang dan kemiskinan tak lagi tersenyum padanya.
"Tersenyumlah, Bu," begitu kata seorang ibu setengah baya pada seorang ibu yang lebih muda di sebelahnya, yang senyumnya belum datang seperti juga ibu di depannya, di belakangnya; seperti juga bapak-bapak di samping kiri, kanan bahkan seperti yang tua-tua yang duduk bersila, bersandar pada dinding joroknya; juga yang di sudut-sudut ruangan sempit dan pengap malam itu. Senyum semua orang seolah sembunyi pada gelapnya malam. Hanya beberapa anak kecil yang duduk dan tidur-tiduran di bagian depan, tertawa-tawa seolah tertawa pada miskinnya tempat itu, miskinnya mereka sendiri. Hujan sudah reda. Gerimis masih ada dari sisa deras hujan sebelumnya, tapi banyak air membasahi lantai yang terbawa dari baju lusuh basah orang-orang yang datang, duduk bersila di basahnya lantai di sesaknya ruangan itu.
"Tersenyumlah, Bu," kata ibu setengah baya itu lagi. Ibu yang disapa belum juga tersenyum. Bau tak sedap bercampur pada lusuh wajah selusuh basah bajunya. Ibu muda itu, seperti orang lain di tempat itu adalah para pemulung. Kebaktian belum dimulai, namun sebagian dari mereka bukan datang untuk kebaktian, tapi untuk makan; kadang untuk uang walau sering tak ada makan dan tak ada uang di tempat sempit dan pengap itu. "Saya sudah sering senyum, pada pagi, pada kehidupan, pada kemiskinan, juga pada malam hujan seperti ini," katanya. Hujan memang selalu membuat, bukan saja diri dan bajunya menjadi basah selusuh-lusuhnya, tetapi juga rumah kardusnya di pinggir rel kereta di seberang sana itu, pastilah sudah menjadi rusak sebasah-basahnya; dan pastilah juga ia harus menatap langit tanpa bulan di atas sana pada tidur malamnya sehabis hujan malam itu.
Dan siapakah yang berani berkata padanya, "Sudah, hujan sudah kehabisan airnya, jadi tidurlah saja dengan tenang di pinggir jalan sambil berharap-harap pada hujan, agar hujan tak lagi mendatangkan basah air hujannya." Biasanya hujan memang datang lagi tengah malamnya atau pagi-paginya. Sebelumnya atau sesudahnya, sama saja, basahlah pasti tidurnya.
"Oh, kapan aku bisa berlindung dari basahnya hujan, atau berharap pada hujan agar tak hujan?" lanjutnya. "Tenang, Bu. Tuhan pasti mendengar kesusahan ibu karena Tuhan itu baik," kata ibu setengah baya yang penuh senyum tadi dengan sabar. "Yesus telah memberikan keselamatan kekal itu pada kita dengan rela mati di atas kayu salib. Pastilah Ia sangat mengasihi kita semua. Maka, tersenyumlah pada Tuhan," lanjutnya. "Bagaimana bisa? Aku hidup dalam lusuh basah bajuku, sementara banyak orang hanya senyum untuk uang. Dan sementara aku senyum untuk baju basah lusuhku, aku juga harus senyum bukan untuk uang tapi untuk Tuhan?" sergah ibu muda itu.
Kebaktian hampir dimulai, percakapan masih jauh dari sepakat. Ibu muda itu semakin membatu sementara ibu setengah baya itu dengan sabar menjatuhkan setetes demi setetes air kerinduan akan Tuhan dalam bait-bait senyumnya. Ada kesedihan dalam getir gentar jiwanya melihat keras membatu hati di hadapan matanya, tetapi senyum itu tetap di jiwanya, mengalir dan mengalir tak habis-habis seolah-olah di sanalah tempatnya Sumber Kehidupan.
Malam makin jauh malamnya. Gerimis belum berhenti gerimisnya. Masih basah baju mereka, hujan kecil-kecil menyanyikan pujian bagi Tuhan dalam rintik-rintiknya. Tuhan para pemulung di ruang sempit dan pengap. Tuhan atas ´senyum yang belum juga datang´.
Kebaktian selesai. Percakapan dimulai lagi. Percakapan semakin jauh dari sepakat. Ibu muda itu kini benar-benar sudah membatu, meski baru saja ia menyanyi Haleluya. Ibu setengah baya itu akhirnya menghentikan kata-katanya demi kesabarannya dalam tetap senyumnya, "Andai suatu saat nanti ibu muda ini mau tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk malam, untuk hujan dan untuk uang...," pikirnya. Tetapi ibu muda itu tetap menggerutu pada basah lusuh bajunya, pada malam hujan basah rumah kardusnya, pada Tuhan atas hujan malam itu.
Ibu setengah baya itu diam seperti malam, namun senyum masih ada di jiwanya dan mengalir di hatinya, terlihat di bibirnya dan terpancar di matanya. Namun angin malam itu telah membawa senyumnya pergi menjauh dari seorang ibu muda
yang membatu, juga dari sebagian besar orang lusuh dalam lusuh basah baju mereka di tempat itu, yang hanya mau tersenyum pada uang tak juga pada Tuhan. Tak hanya orang yang banyak uang yang tak mau senyum pada Tuhan. Hanya
sedikit yang tersenyum untuk Tuhan dan bukan untuk uang - senyum itu memang hanya hidup di sana, pada sedikitnya mereka yang senyum pada Tuhan.
Sebelum ia tahu bahwa kanker tengah merongrong kesehatannya, sebelum semua tahu bahwa kanker itu bertahun-tahun telah ia bawa pergi sampai ke tempat sempit dan pengap, ibu setengah baya itu dulu pernah bilang, "Bukan aku yang tersenyum padamu, tapi Tuhan memang tersenyum padaku, padamu; maka tersenyumlah juga pada Tuhan."
Dan ketika tahu bahwa kehidupan tak lagi berpihak padanya, ia tetap berkata, "Tersenyumlah selalu pada Tuhan, maka engkau akan tersenyum pada kematian."
Ibu setengah baya itu, Ibu Mien, kukenal memang dengan senyumnya. Senyum yang datang dari Sumber Kehidupan. Senyum yang telah memberi terang pada malam. Ia baru saja pergi, meninggalkan sedih yang dalam di hatiku dan basah
di mataku, tapi ia sendiri telah menyambut kematian itu dengan senyum sukacitanya. Bukan karena kematian itu diam-diam seperti diamnya malam, tapi karena sempat ia diberi waktu mengabarkan Injil, sampai hari di ujung hari-harinya, meski harus ke tempat sempit dan pengap.
"Karena Tuhan itu baik," katanya.
Masih dapat kuingat senyumnya, pada malam, pada kehidupan, pada kematian, pada Tuhan. Senyum dari Sumber Kehidupan yang dibawanya pergi, telah ditinggalkannya pula bagiku.

Batu Karang yang Teguh

Batu Karang yang Teguh

"Tidak ada seorangpun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman." (Yohanes 6:44)
Menabur benih-benih firman Tuhan sedini mungkin dalam kehidupan orang-orang di sekeliling kita sering mengakibatkan hasil penuaian yang tidak tersangka. Kesempatan untuk bisa menyaksikannya selalu berbeda-beda, sesuai dengan waktu dan kehendak Tuhan, karena hanya Dia yang mampu menumbuhkan benih-benih tersebut.
Banyak orang menabur firman dengan harapan untuk dapat menyaksikan "tuaian" tindakan mereka seketika itu juga. Tetapi kenyataan yang sebenarnya, menakjubkan sekali! Buah-buah yang dihasilkan melalui benih-benih firman Tuhan yang ditaburkan ke dalam hidup orang-orang, terkadang baru terlihat nyata bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin beratus-ratus tahun kemudian. Kisah "Batu Karang yang Teguh" ini sudah membuktikannya!
Salah satu sekolah dasar di kota Surabaya yang pernah saya kunjungi beberapa puluh tahun yang lalu, telah mempertemukan saya dengan Pak Paliyama, seorang guru SD kelas 6 yang masih muda. Tuhan telah memakai guru ini sebagai alat untuk mempengaruhi kehidupan saya dalam usia yang amat dini. Benih-benih firman yang ditaburkan melalui pelayanannya di sekolah ikut membantu persiapan-persiapan bagi pertobatan hidup saya beberapa tahun yang lalu.
Setiap hari Jum"at segenap siswa sekolah dasar tersebut dipisahkan menjadi beberapa kelompok. Masing-masing kelompok diwajibkan untuk mengikuti pelajaran-pelajaran agama yang ditawarkan di sana. Entah bagaimana, saya yang baru berumur kira-kira 7 tahun dikategorikan oleh guru saya ke dalam kelompok siswa-siswa yang mengikuti pelajaran agama Kristen, meskipun pada saat itu kami sekeluarga masih belum menjadi "penganut" agama tersebut. Mungkin sekali, karena kakak saya yang memutuskan bagi adik-adiknya.
Pak Paliyama selalu mempersiapkan pelajaran agamanya dengan penuh kedisiplinan, dibantu oleh salah seorang dari guru-guru yang lain secara bergantian. Setiap minggu ia memulainya dengan mengajak kami untuk berdoa bersama, dan mengajarkan nyanyian lagu-lagu rohani yang pada waktu itu tidak saya ketahui. Salah satu dari lagu-lagu yang diperkenalkan olehnya, yang amat membekas di dalam hati saya, adalah lagu Hymne kuno: "Batu Karang yang Teguh".
Sebelum pelajaran agama dimulai, ia selalu mempersiapkan lirik dari lagu-lagu tersebut untuk ditulis di papan secara rapi. Tidak jarang ia memberikan tugas tersebut kepada saya. Ia mengetahui, bahwa saya selalu tertarik pada semua hal-hal yang berhubungan dengan kesenian, oleh karena itu sering ia mempercayakannya kepada saya.
Suaranya selalu terdengar lantang dan bagus, setiap kali ia memimpin kami menyanyi dari depan ruangan kelas. Satu hal yang tidak dapat saya lupakan selama bertahun-tahun mengikuti pelajaran agama Kristen di situ, adalah menyadari, bahwa ia mempunyai kemampuan pendengaran yang amat hebat. Sering kali ia datang menghampiri, berdiri, dan menyanyi di sebelah (bersama) saya, karena di luar pengetahuan saya sendiri, saya sedang menyanyikan irama lagu-lagu tersebut dalam nada suara dua. Pak Paliyama amat menyukainya!
Selain itu, saya juga terkenang akan ceritera-ceritera bersambung yang selalu dibawakan olehnya dengan penuh ketrampilan. Tentu saja pada waktu itu saya tidak menyadari, bahwa kisah-kisah tersebut sungguh terjadi, bahkan berasal dari dalam firman Allah yang hidup. Tetapi yang pasti, hal itu bukan merupakan suatu masalah yang besar bagi saya!
Sebagai seorang anak yang masih berjiwa polos, setiap hari Jum"at saya terus mendengarkan kisah-kisah yang diceriterakan olehnya dengan penuh perhatian, disertai rasa keingin-tahuan yang berkobar-kobar. Kisah-kisah yang membuat saya selalu tidak sabar untuk mengetahui kelanjutan dan akhirnya. Saya masih ingat akan kekecewaan yang saya rasakan, jika kisah tersebut ternyata harus dihentikan setengah jalan, disebabkan oleh karena jam pelajaran agama sudah berakhir.
Selain peristiwa ajaib Natal yang mengawali kisah kelahiran Tuhan Yesus, yang paling membekas di dalam hati saya, adalah kisah klasik pengalaman Yusuf dan kesepuluh kakak-kakaknya. Dan di samping kejadian termasyhur tentang peristiwa pembakaran Sadrakh, Mesakh dan Abednego dari Kitab Daniel, yang sampai saat ini tidak pernah saya lupakan, adalah kisah raja Belsyazar, seputar kalimat "Mene, mene, tekel ufarsin". (Daniel 5:25)
Sering kali saya bertanya-tanya mengenai segala kemungkinan yang menyebabkan saya merasa begitu tertarik pada ceritera-ceritera kristiani tersebut, melalui pelajaran agama yang ditawarkan oleh Pak Paliyama.
Apakah karena pada saat itu, seperti umumnya anak-anak yang masih kecil, saya gemar mendengarkan kisah-kisah yang diceriterakan oleh orang lain, seperti yang dilakukannya dari depan kelas? Atau, ... apakah karena kepribadian saya yang selalu mengikuti perkembangan buku-buku ceritera dongeng, buku-buku komik, buku-buku silat, bahkan cerpen-cerpen yang ditawarkan oleh koran-koran dan majalah-majalah di Indonesia?
Atau, ... apakah karena sedari kecil saya selalu suka mempelajari irama musik-musik populer, sehingga saya menjadi tertarik pada lagu-lagu rohani yang diajarkan olehnya di sekolah? Atau, ... apakah karena di dalam persepsi kanak-kanak saya, Pak Paliyama adalah seorang (Kristen) yang baik, yang menyebabkan saya mengagumi pribadinya?
Atau kemungkinan yang lain, ... apakah semua itu terjadi, karena firman Tuhan harus digenapi? Rasul Paulus menulis kepada jemaat di Efesus: "Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya." (Efesus 1:4)
Taburan benih-benih firman melalui lirik lagu-lagu berdasarkan ayat-ayat Alkitab, dan kisah-kisah menarik yang diambil langsung dari sana, ternyata telah tergores dalam hati. Sekarang sesudah saya lahir baru, pengalaman-pengalaman yang mengawalinya di sekolah tersebut, membawa kembali semua kenangan sangat manis yang terjadi dalam jam-jam pelajaran agama di sana. Bagaimana kami berdoa, bagaimana kami bersama-sama menyanyikan lagu-lagu rohani, dan bagaimana kami sekelas asyik mendengarkan Pak Paliyama berceritera di dalam kelas, ... semua itu tampak amat jelas dalam ingatan saya!
"demikianlah firman-Ku yang keluar dari mulut-Ku: ia tidak akan kembali kepada-Ku dengan sia-sia, tetapi ia akan melaksanakan apa yang Kukehendaki, dan akan berhasil dalam apa yang Kusuruhkan padanya." (Yesaya 55:11) 
Firman Allah, yang diluar pengetahuan saya sendiri, sudah menerobos masuk ke dalam hati saya melalui pelayanannya yang amat sederhana, ternyata telah berhasil "menghidupkan" roh saya kembali berpuluh-puluh tahun kemudian, karena semenjak saat benih-benih firman tersebut ditaburkan, mereka tidak pernah meninggalkan saya lagi! Itulah bukti kebenaran kasih karunia Tuhan!
Alhasil, ayat termasyhur ini digenapi dalam kehidupan saya! Dan semua itu terjadi hanya oleh karena jasa bantuan seorang guru, yang bersedia membagikan "Kabar Baik" firman Tuhan kepada murid-murid di sekolah secara amat sederhana, dengan membagikannya seperti apa adanya, seperti yang tertulis di dalamnya.
Semenjak kami sekeluarga memutuskan untuk "memeluk" agama Kristen tidak lama sesudahnya, saya yang masih berusia amat muda, tidak pernah mendapatkan kesempatan seindah itu lagi. Karena itu saya sadar akan pentingnya pelayanan-pelayanan yang tampak sangat tidak berarti pada saat dilakukan, tetapi dapat mempengaruhi dan mengubah kehidupan orang-orang yang terlibat di dalamnya bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun, bahkan mungkin beratus-ratus tahun kemudian!
Pelayanan tanpa pamrih, tanpa mengharapkan balasan apa-apa yang dapat menguntungkan diri pribadi! Tuhan Yesus mengatakan dalam Injil Yohanes: "Sekarang juga penuai telah menerima upahnya dan ia mengumpulkan buah untuk hidup yang kekal, sehingga penabur dan penuai sama-sama bersukacita. Sebab dalam hal ini benarlah peribahasa: Yang seorang menabur dan yang lain menuai. Aku mengutus kamu untuk menuai apa yang tidak kamu usahakan; orang-orang lain berusaha dan kamu datang memetik hasil usaha mereka." (Yohanes 4:36-38)
Sebelum saya meninggalkan sekolah tersebut, saya sempat menjadi salah seorang dari murid-murid kelas 6 SD yang berada di bawah pengawasan Pak Paliyama.
Saya harus mengakui, bahwa dari semua guru yang ikut mengambil bagian dalam pendidikan saya di sekolah dasar tersebut, hanya dia seorang saja yang telah meninggalkan suatu kenangan manis yang tak terlupakan. Apakah karena ia seorang Kristen yang transparan? Saya tidak bisa menjawabnya! Yang pasti, ia sudah mempengaruhi masa kanak-kanak saya dengan memperkenalkan Tuhan Yesus Kristus sebagai awal persiapan kelahiran baru yang saya alami beberapa tahun yang lalu.
Saya percaya, bahwa pelayanannya yang amat sederhana tersebut juga sudah mempengaruhi kehidupan anak-anak yang lain. Saya mengetahui kenyataan ini, karena kakak-kakak saya, yang pernah menjadi murid-muridnya, menyetujui pendapat saya mengenai guru teladan ini!
Biarlah Tuhan saja yang memberkati Pak Paliyama selalu, dimanapun ia berada. Haleluya!